Malam Bersamamu



Berada dalam lingkaran ukhuwah yang begitu baik itu menyenangkan sekali. Rasanya, ingin terus berbagi kenikmatan dengan orang lain setiap saat. Ingin menggenggam dan memeluk lebih banyak orang untuk berjalan bersama. Perjalanan panjang yang berakhir indah nanti. Karena berat jika berjalan sendirian. 

Saat bersama kamu, aku selalu terinspirasi. Selalu saja ingin bergumam “Nikmat mana yang engkau dustakan?” Ya, cuplikan dari QS. Ar-Rahman itu selalu membuat aku terhenyak begitu dalam. Setelah sekian lama, berjungle dengan kehidupan, ada juga yang mengiringi perjalanan ini. Termasuk salah satunya memiliki teman yang begitu istimewa, special, sangat indah untuk diikuti jejaknya.

Tadi malam, aku tersadar, begitu sadar jika selama ini salah. Ya, aku salah memamerkan diri begitu jauh. Memang, tak ada yang tau dengan apa yang hendak dilakukan, karena terkadang tidak sadar untuk melakukan hal tersebut. Seperti katamu, “kenapa aktivis dakwah itu malah akademiknya turun?” dan kamu langsung menimpali dengan jawaban “karena mungkin niat kita salah, niat kita ingin pamer, bukan karena Allah”

Ya, benar. Mungkin selama ini aku pamer. Tak sadar bahwa hal tersebut condong kepada hal demikian. Padahal merasa tidak bermaksud tapi ternyata goalnya kesana. Naudzubillah

 Malam itu tidak seperti malam biasanya. Aku tidak merasa kantuk, aku masih semangat untuk membahas dakwah kita ke depannya. Rasanya, kecemasanku begitu luar biasa, Ditambah dorongan dari orang-orang lain di sekitar, yang menekan di bagian lain. Membuat pikiran berkecimuk tidak jelas, ingin melepas begitu saja amanah-amanah kali ini. Tapi, selalu saja ada dorongan kuat juga. Mereka saling mendorong, melapas atau melanjutkan.

Tapi, begitu jauhnya kita mengobrol membuatku juga banyak tersadar. Bahwa tidak ada pundah yang tanpa beban. Ya, kita semua punya pundak dengan beban masing-masing. Yang bahkan jika diukur, merekalah yang lebih berat bebannya daripada aku. Ketika aku mendengar ceritamu, pikiranku langsung meloncat tidak karuan, hatiku panas. Aku begitu iri pada kesabaran dan ketabahan hidup kamu. Ternyata, banyak hal luar biasa yang aku tidak tahu. Selama 5 bulan berjalan, aku ternyata tidak mengenal apapun. Aku bukan siapa-siapa.

Hingga tiba di sepertiga malam. Ya, waktu di malam yang sangat indah untuk bercengkrama dengan Allah. Mabit yang menyenangkan dan tidak akan terlupakan. Dan tadi pagi, saat qiyamulail selesai, aku menoleh ke arahmu. Berusaha untuk melihat gerak-gerikmu dan ingin sekali memegang tanganmu. Katanya, bersalaman bisa menggugurkan dosa. Maklum, dosa mungkin saja banyak yang tidak terasa, hingga akhirnya terlalu menumpuk dan menggunung.

Tapi, sekali lagi, aku tersentuh. Kamu begitu tersendu, menunduk begitu dalam di pangkuan tanganmu, dan tetes demi tetes keluar dari matamu. Ya, aku juga sedih. Sedih karena baru menyadari bahwa bebanmu lebih berat daripada beban yang aku punya. Kenapa sudah sejauh ini baru tersadar? Padahal, rasanya dia begitu dekat setiap harinya. Menjelang 10 menit, kamu menyelesaikan aduanmu kepada Allah. Aku menunggu untuk bisa menggenggam tanganmu. Dan benar, kamu begitu sembab dan terlihat beban yang terasa menumpuk. Sesak rasanya. Aku terlalu banyak mencurahkan bebanku, hingga aku tidak menyadari, bahwa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Maafkan karena mudah mengeluh dan berkata lemah.

Wanita yang begitu luar biasa. Namun, jika kamu sedih, cukup katakan saja. Jangan selalu memendamnya sendiri. Mari saling menguatkan. Dan kamu juga benar. Masalah kita mungkin memang besar, tapi di atas masalah itu, ada lagi yang lebih besar, maha besar, maha agung. Ya, itu Allah SWT. Yang siap memeluk kita di sepertiga malam, siap memberikan pelukan yang begitu indah kepada hamba-Nya. Ya, kita punya Allah, satu-satunya yang tidak akan berpaling jika kita mendekat.  

Komentar